Form Pendaftaran Anggota Gema Pembebasan

Gema Pembebasan Wilayah Jawa Tengah menerima pendaftaran jadi anggota baru setiap saat. Mudah, tinggal isi form di bawah ini. Saat jadi anggota, Anda akan mendapatkan banyak fasilitas gratis mulai pembinaan Islam intesif hingga pelatihan teknik khas OMEK. Selamat mencoba!
     
   

 
   
     

Jumat, 03 Agustus 2007

Mencari Gubernur Peduli Rakyat

Pilkada DKI Jakarta segera digelar pada Agustus ini. Suasana politik di Jakarta pun semakin memanas. Para calon gubernur berkampanye. Semuanya berjanji akan memperhatikan rakyat. Janji manis yang seringkali susah diwujudkan. Apalagi, dalam sistem demokrasi yang biasanya akan melahirkan pemerintahan korporasi . Hal ini bisa dimengerti mengingat pengusaha inilah yang memberikan dukungan dana yang besar kepada penguasa. Politik ’balas budi’ kemudian akan membuat penguasa yang ada akan lebih memperhatikan kepentingan kelompok bisnis. Tidak menutup kemungkinan kalau yang mendukung calon gubernur adalah pengusaha bisnis haram seperti night club, jangan berharap gubernur yang terpilih akan menutup bisnis haram itu. Hal senada dilontarkan Andrinof Achaniago (peneliti senior The Habibie Center)” Sistem pemilu dan pilkada sekarang membuka peluang bagi politisi menjadikan partai sebagai mesin pencari uang (politik uang)”, ujarnya (Republika 11/06/2007)

Sulitnya mencari penguasa yang memihak kepada rakyat, tidak bisa dilepaskan dari pradigma politik Kapitalisme yang menjadikan keuntungan material menjadi panglima politik. Jadilah pragmatisme menjadi ciri pokok dari kebijakan politik. Pragmatisme ini lebih mengedepankan kepentingan sesaat, dibandingkan dengan kepentingan yang lebih besar seperti mengurus rakyat. Ciri pokok yang kedua, kekuasaan sering kali menjadi tujuan politik. Tidak mengherankan kalau berbagai upaya dihalalkan untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan yang ada. Wajar dalam kondisi seperti ini akan terjadi distorsi idealisme.

Sangat berbeda dengan pradigma politik Islam, dimana siyasah (politik) dimaknai sebagai upaya mengatur urusan-urusan umat baik didalam maupun luar negeri dengan berdasarkan syariah Islam (Syekh Taqiyuddin ; Afkarus-siyasi) . Dalam Islam pradigma politiknya adalah penguasa sebagai ra’in (pengatur atau pengurus) rakyat. Dalam hadist disebutkan ”Al Imamu ra’in, wa huwa mas’ulun ’an ra’iyyatihi” (Imam atau penguasa adalah pengatur/pengurus umat, dan dia akan bertanggung jawab akan apa yang diurusnya). Dalam Islam, kekuasaan hanyalah alat untuk mengatur rakyat, bukan tujuan. Jaminan idealisme pemimpin semakin kokoh, ketika pemimpin diwajibkan untuk mengatur urusan umat berdasarkan syariah Islam. Jadilah paduan antara pemimpin yang baik dan sistem yang baik melahirkan pemimpin yang perduli pada rakyat.

Merujuk kepada hadist nabi , untuk bisa menjadi pemimpin yang memperhatikan rakyat, paling tidak ada tiga sifat yang harus dimiliki yakni al quwwah (kuat); at taqwa ; dan ar rifqu bi arro’iyah (lemah lembut terhadap rakyat) . Dia harus menjadi orang yang berkepribadian yang kuat (al quwwah) yakni memiliki pola pikir (aqliyah) yang tinggi dan pola prilaku (nafsiyah) yang luhur. Karena itu seorang pemimpin haruslah konsepsional, dirinya memiliki pemahaman komprehensif dan utuh bagaimana seharusnya mengurus rakyat dan menyelesaikan persoalan-persoalan umat. Disamping itu, prilakunya haruslah baik. Rosulullah SAW pernah menolak memberikan jabatan kepada Abu Dzar dan ia berkata : ” Wahai Abu Dzar, kamu adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan ini adalah amanah, dan pada Hari Pembalasan merupakan kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya , sesuai dengan haknya dan menunaikan kewajibannya” (HR Muslim)

Sifat yang kedua adalah pemimpin haruslah orang yang bertaqwa yakni orang yang mau menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya. Tentu saja bukan ditunjukkan hanya dengan sholat dan shaum, tapi dalam seluruh aspek kebijakannya termasuk politik, ekonomi, pendidikan, dan aspek mu’amalah lainnya. Pendek kata, semua aspek haruslah terikat pada syariah Islam. Pemimpin seperti ini akan senantiasa takut kepada Allah dan selalu merasa diawasi Allah SWT. Dia takut kebijakan yang diambilnya akan menterlantarkan rakyat. Tidaklah heran Rosulullah SAW setiap kali menangkat seorang pemimpin pasukan selalu mewasiatkan agar bertaqwa dan berbuat baik kepada kaum muslim yang bersama dengannya (HR Muslim).

Bertaqwa bukan berarti menghalangi pemimpin untuk bersikap tegas, justru perasaan diawasi (muraqobah) oleh Allah SWT akan membuat dia tegas dalam menjalankan seluruh perintah Allah SWT. Tegas bukan berarti membuat rakyat takut kepadanya. Sebaliknya pemimpin harus lemah lembut dan tidak menimbulkan kesulitan bagi warganya. Aisyah ra pernah menceritakan bagaimana doa Rosulullah SAW terhadap pemimpin yang menyusahkan rakyatnya . Rosulullah saw berdoa : ” Ya Allah, bagi siapa saja yang diberi tanggungjawab kepemimpinan umat dan menimbulkan kesulitan kepada mereka (rakyat), maka berikanlah kesulitan kepadanya. Dan bagi siapa yang berbuat baik kepada mereka, berikanlah kebaikan kepadanya.” (HR Muslim)

Dalam hubungannya dengan warga negara, Allah SWT telah mewajibkan seorang pemimpin untuk memberikan nasihat yang tulus kepada warganya dengan memperingatkannya untuk senantiasa berhati-hati dalam mengelola harta negara. Allah SWT juga mewajibkan para pemimpin untuk memerintah umatnya hanya dengan sistem Islam dan tidak mencampuradukkan dengan sistem lainnya. Sabda Rosulullah saw : ” Siapa saja seorang pemimpin yang mengurusi urusan kaum muslim, kemudian ia meninggal sedangkan ia berbuat curang terhadap mereka (rakyatnya), maka Allah SWT mengharamkan surga baginya .” (HR Bukhori Muslim)


Berharap pada Gubernur dalam Sistem Kapitalis ?

Sebagian kaum muslim berharap , bahwa kalau gubernur DKI yang terpilih nanti akan menegakkan syariah Islam dan lebih berpihak kepada umat Islam. Harapan ini tentu saja bagus, namun sayangnya akan sulit diwujudkan. Memang dalam sistem pemerintahan Islam ada jabatan yang setara dengan gubernur yakni wali. Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Nidhomul Hukmi fi Al Islam, mendefenisikan wali sebagai pejabat pemerintahan disuatu daerah (wilayah/provinsi) serta menjadi pemimpin daerah tersebut.

Hanya saja berbeda dengan sistem demokrasi yang dianut Indonesia sekarang, wali (gubernur ) dalam Islam bukan dipilih oleh rakyat , melainkan ditunjuk dan diangkat oleh Kholifah (kepala negara). Demikian juga seorang wali boleh diberhentikan oleh Kholifah , kapan saja, dengan ada alasan atau tidak. Sebab dalam Islam, wali sesungguhnya adalah wakil Kholifah, sehingga dia senantiasa melakukan tugas-tugas yang diwakilkan oleh Kholifah berdasarkan akad inabah (akad untuk mewakili). Karena itu dalam sistem Islam, masyarakat tidak akan disibukkan oleh urusan-urusan pemilihan kepala daerah yang seringkali menyedot energi, waktu, dan uang. Apalagi tidak jarang pilkada justru menimbulkan konflik horizontal ditengah-tengah masyarakat

Demikian juga syarat-syarat menjadi wali sama dengaan syarat menjadi mu’awwin (pembantu kholifah), sebab sama-sama menjadi wakil Kholifah. Karena itu wali dalam pandangan Islam haruslah laki-laki, merdeka (bukan budak), muslim, baligh dan berakal, adil, dan mampu menjalankan tugasnya dengan baik.

Perbedaan yang mendasar lainnya adalah wali merupakan wakil Kholifah yang menjalankan sistem Islam. Sementara gubernur saat ini, bukan dalam rangka menjalankan sistem Islam, akan tetapi sebagai pelaksana sistem kapitalisme sekuler. Tentu saja sulit berharap terlampau banyak kepada gubernur yang terpilih nanti untuk menjalankan syariah Islam, mengingat sistem yang berlaku bukan syariah Islam tapi sistem sekuler.

Memang, mungkin saja gubernur bersama DPRD setempat mengeluarkan perda-perda yang bernuansa syariah Islam. Namun, perda-perda seperti ini pastilah terbatas, mengingat perda seperti ini tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum nasional yang ada. Berharap menerapkan syariah Islam yang kaffah dalam sistem demokrasi tentu saja sulit. Selama ini perda yang bernuansa syariah baru sekitar perkara-perkara individual atau moralitas. Di Aceh saja yang diberikan otonomi untuk menjalankan syariah Islam, penerapannya sangat terbatas para pada aspek uqubat (sanksi kriminal). Aspek-aspek mendasar lain seperti politik, ekonomi, mata uang , belum bisa , karena memang akan bersinggungan dengan sistem hukum nasional.

Kendala lain, bagaimanapun harus diakui wewenang gubernur sangatlah terbatas. Perkara-perkara yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi, keuangan, hukum, pendidikan, masih ditentukan oleh pemerintah pusa . Walhasil, untuk penegakan syariah Islam, tidak cukup pergantian pemimpin tapi juga pergantian sistem. Menjadi sistem Islam yang berdasarkan syariah Islam dibawah nuangan Khilafah Islam. (Farid Wadjd

Tidak ada komentar:

Google News

Tempointeraktif

Syariat Islam

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 2.5 Malaysia License.