Tempo
9 Juli 2007
Tempo minta Wimar nulis soal Pilkada DKI. Mereka memuatnya hari ini dalam Majalah Tempo edisi 15 Juli 2007 dengan judul "Pelajaran dari Kekecewaan". Di bawah ini adalah teks versi aslinya.
Wimar Witoelar
Demokrasi melaju dengan cepat di Indonesia, dan Pilkada DKI 2007 diharapkan akan membawa kemajuan mutakhir. Maunya sih begitu.
Kenyataannya, demokrasi akan anjlok pada Pemilihan Gubernur DKI bulan Agustus 2007 ini, kalau tidak terjadi mukjizat politik.
Persaingan sudah hilang ketika semua partai kecuali satu ramai-ramai mendukung satu orang. Calon satu lagi didukung satu partai saja. Partai yang ramai-ramai itu tidak punya visi yang sama, kecuali keinginan berbagi kekuasaan. Calon yang didukung juga tidak banyak bersikap, hanya menampilkan wajahnya di billboard, iklan televisi dalam publikasi DKI yang dibiayai APBD.
Pinter juga tim suksesnya. Mereka merasa calonnya pasti menang, Jadi, buat apa ambil risiko dengan menyatakan sikap? Menghadapi wartawan, cuman bikin naik darah aja, karena mereka selalu menyalahkan dia untuk banjir, macet, kesemerawutan, mentang-mentang dia Wakil Gubernur. Kalau bilang dia nggak bersalah, harus menyalahkan Gubernur yang mensponsor dia.
Kampanye saingannya, Adang Daradjatun, kena di hati. Tidak menggunakan uang DKI, dan menunjukkan kepedulian:
“Mau banjir terus? Cappee deh...”.
“Bosen Macet ? Susah Kerja? Hidup Sulit?”
dan yang paling nyentil: “Narkoba Makin Menggila”
Sayang partai pendukungnya kurang nyaman untuk semua orang. Terus, calon yang dipilih tidak memancarkan kebersihan. Dari mana uangnya yang banyak itu? Hasil jabatan sebagai orang kedua di Kepolisian RI? Katanya uangnya dari istrinya yang menjadi pengusaha. Usaha apa?
Bram yang mengaku sebagai ‘rakyat non-partai’ menulis di website perspektif.net, ‘Saya pribadi sedih sekali melihat, sebuah partai yang lumayan 'bersih' (dibandingkan partai yang lain) terpaksa mendukung calon busuk dengan alasan yang sampai sekarang tidak diketahui oleh kader2nya sendiri. ‘
Banyak pendapat lain dalam demokrasi kita. Mitra bisnis DKI yang artis, kontraktor, konsultan, developer dan pakar yang masuk tim sukses Foke. Juga stasion televisi, pemilik toko dan pengelola mall yang dihidupi oleh Gubernur DKI.
Setahun sebelum Pilkada, orang berlomba ingin sosialisasi. Tapi begitu menghadapi isu nyata, buyar. Seperti tim sepakbola yang main cantik tapi tidak bisa bikin gol. Acara sosialisasi di televisi berawal dengan cantik, tapi akhirnya tidak mampu membedakan ‘good guy’, dari ‘bad guy’.
Sekalinya orang mempertanyakan penyelewengan kampanye di televisi, malah diberhentikan. Sebaliknya anggota tim sukses dipertahankan. Jadinya lucu-lucu tapi tidak ada nyali. Lucunya lagi, calon gubernur yang paling sibuk kampanye tidak mau tampil depan kamera ‘live’ kecuali ada jaminan tidak akan ada pertanyaan yang susah.
Pilkada DKI semula memberi harapan akan muncul orang yang bersih. Tapi, seperti ditulis Redi dalam website perspektif.net, ‘Foke tidak bisa diterima karena sebagai Wagub. Prestasinya tidak luar biasa: bajir, macet, kemiskinan, harga mahal dst dst. Adang juga tidak bisa diterima karena sebagai pejabat tinggi polisi, prestasinya juga tidak luar biasa: tingkat keamanan yg rendah, kasus pencurian, perampokan, kejahatan jalanan dst dst... Kedua kandidat bukan calon yg baik.’
Beberapa bulan orang masih optimis, dengan munculnya nama-nama yang mendapat kepercayaan seperti Rano Karno, Faisal Basri, Agum Gumelar, Sarwono Kusumaatmadja. Faisal Basri berteguh pada sikap dan terlempar dari percaturan. Agum maju mundur sampai hilang di tempat parkir. Sarwono bisa memikat dan mengikat PKB dan PAN, tapi kemudian lepas lagi oleh arus pragmatisme di kedua partai itu.
Kasus Rano Karno lebih mengecewakan lagi. Bersiap-siap selama dua tahun dengan citra kuat sebagai Anak Betawi, kuat dalam retorika dan banyak pendukung, dia pernah dianggap calon legitimate. Tapi akhirnya dia hanya jadi pemain iklan Fauzi Bowo, menjual brand paling sukses seumur hidup dia. Kasihan, Si Dul.
Harapan akan adanya calon independen sudah hilang untuk kali ini. Seperti diduga, elite politik menolaknya, termasuk pakar yang dibeli oleh partai. Calon independen membuat ngeri calon yang sudah keluar modal milyardan. Fadjroel Rahman menunjukkan bahwa sebenarnya cagub di Pilkada DKI sudah melanggar, berdasarkan praduga mereka menyetor ke parpol. Djasri Marin dan Slamet Kirbiantoro mengatakan dengan jelas bahwa mereka menyuap petinggi partai politik. Baca
Pengalaman Pilkada DKI membuktikan bahwa partai politik kita tidak bisa dipercaya. Terima kasih kepada 20 parpol yang membuktikan kepada kita bahwa mereka belum siap memberi pilihan kepada rakyat.
Tapi demokrasi tidak diukur dari hasil sesaat. Demokrasi tidak menjamin keadilan dan kesejahteraan, hanya meletakkan dasarnya. Paling penting, demokrasi tidak ditentukan dalam satu Pilkada, tapi dalam proses sehari-hari. Dengan kekecewaan Pilkada DKI 2007, lebih beralasan lagi menuntut pembersihan partai politik, termasuk menambah dukungan untuk calon independen.
Form Pendaftaran Anggota Gema Pembebasan
Gema Pembebasan Wilayah Jawa Tengah menerima pendaftaran jadi anggota baru setiap saat. Mudah, tinggal isi form di bawah ini. Saat jadi anggota, Anda akan mendapatkan banyak fasilitas gratis mulai pembinaan Islam intesif hingga pelatihan teknik khas OMEK. Selamat mencoba!
Jumat, 03 Agustus 2007
Pilkada DKI: Menarik Pelajaran dari Kekecewaan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar